Sidang UU Hak Cipta Ariel, Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti?
Sidang UU hak cipta ariel Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 diajukan oleh Nazril Ilham (Ariel Noah) dan 28 musisi lainnya.
Hakim Konstitusi Arsul Sani secara mengejutkan mempertanyakan apakah menyanyi di pesta pernikahan harus membayar royalti kepada pencipta lagu. Mengingat acara tersebut memiliki unsur komersialisasi, meskipun tidak seperti konser berbayar tiket.
Dibawah ini anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya seputaran KEPPOO INDONESIA.
Latar Belakang Gugatan UU Hak Cipta dan Isu Royalti
Gugatan uji materi UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 ini dilayangkan oleh Ariel Noah dan 28 musisi lainnya karena banyaknya penyanyi yang mendapat tuntutan hukum hanya karena menyanyikan lagu tertentu di acara umum.
Mereka merasa ada ketidakpastian hukum dan bahkan ketakutan dalam menjalankan profesi mereka akibat penafsiran dan pelaksanaan UU di lapangan. Salah satu permohonan utama para musisi adalah agar diizinkan membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan telah membayar royalti.
Kasus-kasus seperti grup band The Groove, Sammy Simorangkir, Agnez Mo. Hingga Once Mekel disebut menjadi pemicu. Di mana ada perbedaan penafsiran terkait izin menyanyikan karya dan pembayaran royalti dari pelaku pertunjukan ke pencipta karya.
Hakim Arsul Sani mencontohkan situasi menyanyi di pesta pernikahan yang kini berpotensi terkena pasal pidana jika tanpa izin. Meskipun tidak bersifat komersial seperti konser. Beliau juga menyoroti adanya elemen komersialisasi ketika seseorang tampil bernyanyi di acara pernikahan.
Informasi Gembira bagi pecinta bola, Link Aplikasi Nonton Indonesia vs China dan Jepang vs Indonesia GRATIS, Segera download!

Pandangan Pemerintah dan Ahli Hukum
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Razilu, dalam sidang uji materi. Menjelaskan bahwa tanggung jawab pembayaran royalti ada pada penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha, bukan pada musisi atau penyanyi, kecuali jika mereka juga berperan sebagai penyelenggara konser.
Senada dengan itu, praktisi hukum dan musisi senior Kadri Mohamad menegaskan bahwa penyanyi atau performer tidak seharusnya dibebani tanggung jawab membayar royalti karena hal itu bertentangan dengan praktik global dan pemahaman hukum yang benar mengenai sistem hak cipta.
Menurut Kadri, pengguna lagu (penyelenggara acara) yang menyewa tempat, menjual tiket. Atau menyediakan sound system adalah pihak yang wajib membayar royalti. Jika penyelenggara tidak membayar, maka kesalahan ada pada penyelenggara, bukan penyanyi.
Razilu juga menjelaskan bahwa pembayaran royalti dilakukan secara terpusat melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang kemudian akan didistribusikan kepada pencipta dan pemilik hak cipta terkait.
Setelah royalti dibayarkan melalui LMKN, penyanyi atau penyelenggara tidak memerlukan izin langsung dari pencipta atau pemegang hak cipta untuk hak pertunjukan (performing right). Anggota DPR-RI, I Wayan Sudirta, juga menguatkan pernyataan ini.
Menyebutkan bahwa jika pembayaran sudah diberikan kepada LMK/LMKN. Musisi tidak perlu lagi meminta izin kepada pencipta lagu karena adanya skema blanket license di mana pencipta memberikan kuasa kepada LMK atau LMKN untuk pengelolaan royalti.
Baca Juga: Edarkan Uang Palsu Rp223 Juta, Mantan Artis Sinetron SA Ditangkap
Mekanisme Pembayaran Royalti Melalui LMKN
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021) mengatur bahwa setiap orang yang menggunakan lagu atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial harus membayar royalti melalui LMKN. LMKN bertugas sebagai perantara antara pemegang hak cipta dan pengguna karya cipta, seperti penyelenggara acara musik.
Mereka bertanggung jawab untuk menarik, menghimpun, serta mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak, baik yang sudah maupun belum menjadi anggota LMK. Pengguna meliputi penyelenggara konser, restoran, hotel, tempat hiburan, televisi, radio, dan platform streaming.
Besaran royalti untuk konser telah ditetapkan secara jelas, misalnya dua persen dari hasil kotor penjualan tiket. Jika ada konser musik gratis, besaran royalti adalah dua persen dari biaya produksi musik. Untuk restoran dan kafe, tarif royalti ditentukan per kursi per tahun. Sebesar Rp 60.000 untuk royalti pencipta maupun royalti hak terkait.
Hotel dikenakan tarif berdasarkan jumlah kamar, berkisar Rp2 juta hingga Rp12 juta per tahun. Salon kecantikan dan pusat kebugaran dikenakan tarif per meter persegi, mulai dari Rp4.000 per meter untuk 500 meter persegi pertama.
Potensi Kriminalisasi & Ketidakpastian Hukum
Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan keprihatinannya bahwa aturan saat ini rentan dijadikan alat untuk memidanakan orang. Terutama jika pelapor memiliki kekuasaan. Dia meminta penjelasan kepada Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Razilu, mengenai situasi ini.
Menekankan perlunya kejelasan terkait batasan dan cakupan pemidanaan dalam UU Hak Cipta. Para musisi yang mengajukan gugatan merasa bahwa penafsiran terkait aturan pembayaran royalti kini menciptakan ketakutan di kalangan mereka.
Beberapa kasus tuntutan hukum dari pencipta lagu kepada musisi yang marak terjadi belakangan menjadi dasar permohonan uji materi ini. Mereka mempertanyakan apakah pelaku pertunjukan wajib meminta izin secara langsung kepada pencipta lagu untuk menampilkan hasil pertunjukan, dan siapa yang memiliki kewajiban membayar royalti tersebut, pelaku pertunjukan atau penyelenggara.
Selain itu, mereka juga menanyakan apakah pencipta bisa begitu saja menentukan sendiri tarif royalti dan apakah seseorang bisa dipenjarakan hanya karena belum membayar royalti kepada LMKN.
Simak dan ikuti terus KEPPOO INDONESIA agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
- Gambar Utama dari KOMPAS.com
- Gambar Kedua dari www.inforedaksi.com