Heboh! Pernikahan Anak 15 Tahun di Lombok Ternyata Kawain Lari
Baru-Baru ini kasus pernikahan anak usia 15 tahun di Lombok telah menjadi sorotan media setelah video prosesi adat nyongkolan yang viral di media sosial.
Peristiwa ini memicu perhatian luas hingga berujung pada tindakan hukum terhadap orang tua dan pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan tersebut. KEPPOO INDONESIA akan membahas lebih dalam lagi mengenai pernikahan anak 15 tahun di Lombok ternyata kawain lari.
Kronologi dan Kontroversi Pernikahan Anak di Lombok
Pasangan yang menikah adalah SMY, seorang siswi SMP berusia 15 tahun asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR, siswa SMK berusia 17 tahun dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah. Video yang memperlihatkan prosesi nyongkolan, yakni tradisi pernikahan adat Sasak, tersebar luas dan menimbulkan keprihatinan di masyarakat.
Dalam video tersebut, mempelai perempuan tampak berjoget sambil ditandu menuju pelaminan, tingkah lakunya yang dinilai janggal ini menjadi bahan perbincangan warganet serta menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan psikologis anak untuk menjalani pernikahan.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, menekankan bahwa pihaknya belum dapat memastikan kondisi psikologis SMY tanpa pemeriksaan medis. Ia menegaskan bahwa pemeriksaan tersebut akan menjadi bagian dari proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Penilaian terhadap kondisi mental korban sangat penting agar intervensi yang tepat dapat diberikan.
Informasi Gembira bagi pecinta bola, Link Aplikasi Nonton Indonesia vs China dan Jepang vs Indonesia GRATIS, Segera download!

Proses Hukum dan Upaya Pencegahan
LPA Kota Mataram resmi melaporkan kasus pernikahan anak ini ke Polres Lombok Tengah pada tanggal 24 Mei 2025. Laporan ini bukan hanya diarahkan kepada orang tua kedua anak, tetapi juga kepada seluruh pihak yang diduga terlibat dalam memfasilitasi pernikahan tersebut, termasuk penghulu yang menikahkan pasangan anak di bawah umur.
Langkah ini diambil sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat mengenai larangan serta sanksi hukum yang mengatur pernikahan anak. Sebelumnya, perangkat desa dari kedua belah pihak berusaha mencegah pernikahan ini.
Bahkan sempat menggagalkan upaya kawin lari yang dilakukan pasangan tersebut sejak April 2025. Namun, keluarga tetap bersikukuh melangsungkan pernikahan. Hal ini menunjukkan adanya tekanan sosial dan keinginan kuat dari pihak keluarga meski ada upaya intervensi dari aparat setempat.
Dalam pelarian terakhir sebelum pernikahan resmi berlangsung, kedua anak sempat dibawa ke Pulau Sumbawa selama dua hari. Informasi mengenai hal ini sedang didalami lebih lanjut oleh kepolisian sebagai bagian dari penyelidikan kasus yang memiliki implikasi hukum serius.
Baca Juga:
Dampak Pernikahan Anak dan Pentingnya Perlindungan
Perkawinan anak memiliki dampak serius dalam berbagai aspek kehidupan anak, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga sosial. Ketua LPA Kota Mataram menyoroti bahwa pernikahan dini kerap mengakibatkan putus sekolah, risiko kemiskinan, serta masalah kesehatan seperti stunting dan kematian ibu bayi. Selain itu, pernikahan anak juga sering menjadi akar dari kasus kekerasan dalam rumah tangga dan prostitusi, yang semakin menambah kerentanan anak dalam jangka panjang.
Kasus di Lombok ini bukan yang pertama. Di Lombok Barat, terdapat kasus serupa di mana orang tua mempelai menjadi terdakwa karena menikahkan anak di bawah umur, dan saat ini telah memasuki tahap persidangan. Hal ini mengindikasikan bahwa praktik pernikahan anak masih menjadi permasalahan yang harus diatasi dengan serius di wilayah Nusa Tenggara Barat.
Joko Jumadi mengajak kepolisian untuk bekerjasama dengan lembaga perlindungan anak dalam memberikan pembinaan dan rehabilitasi bagi anak-anak yang terlibat dalam pernikahan anak tersebut. Pendekatan rehabilitatif penting agar anak-anak ini dapat kembali menjalani kehidupan yang sehat dan mendapatkan hak-hak mereka sesuai usia.
Edukasi dan Kesadaran Masyarakat sebagai Kunci Perubahan
Laporan yang diajukan oleh LPA juga bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pernikahan anak memiliki konsekuensi hukum. Surat undang-undang terkait pernikahan anak, seperti Pasal 10 Undang-Undang TPKS. Mengatur larangan dan sanksi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam memfasilitasi pernikahan anak.
Edukasi ini diharapkan dapat menciptakan efek jera dan mengurangi angka pernikahan dini di wilayah NTB. Selain upaya hukum, peningkatan kesadaran masyarakat, termasuk orang tua dan perangkat desa, sangat penting.
Pencegahan melalui sosialisasi dan dialog terbuka terkait dampak negatif pernikahan anak perlu terus digalakkan agar praktik ini tidak terulang kembali. Hal ini juga menjadi panggilan agar pemerintah dan masyarakat lebih aktif melindungi hak-hak anak agar mereka dapat tumbuh, berkembang, dan berpendidikan sesuai dengan usia mereka.
Kesimpulan
Kasus pernikahan anak usia 15 tahun di Lombok Tengah bukan hanya soal ritual adat yang viral di media sosial. Melainkan juga mengangkat persoalan serius tentang hak anak, perlindungan hukum, dan kesehatan mental anak. Tindakan hukum terhadap orang tua dan pihak yang memfasilitasi pernikahan ini menjadi langkah penting dalam upaya menekan pernikahan dini sekaligus memberikan edukasi dan perlindungan bagi anak-anak yang rentan.
Ke depan, kerja sama antara aparat hukum, lembaga perlindungan anak, serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini secara komprehensif. Dan berkelanjutan demi masa depan generasi muda yang lebih baik.
Manfaatkan waktu anda untuk mengeksplorisasi ulasan menarik lainnya mengenai berita viral dan menarik hanya di KEPPOO INDONESIA.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari jabar.tribunnews.com
- Gambar Kedua dari lombokpost.jawapos.com