Pahlawan Atau Penindas? Polemik Soeharto Kembali Membara

bagikan

Polemik tentang apakah Soeharto layak disebut pahlawan nasional atau justru penindas kembali menjadi topik hangat dan perdebatan tajam di Indonesia.

Pahlawan Atau Penindas? Polemik Soeharto Kembali Membara
Isu ini muncul berulang kali sejak lama dan semakin memanas setelah adanya usulan untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia ini.

Dibawah ini akan membahas secara mendalam sisi-sisi kontroversial dalam penilaian Soeharto, menyajikan argumen-argumen pro dan kontra yang muncul dalam polemik tersebut.

tebak skor hadiah pulsabanner-free-jersey-timnas

Latar Belakang Kontroversi Gelar Pahlawan

Soeharto merupakan Presiden Indonesia kedua yang memerintah selama lebih dari tiga dekade, dari tahun 1967 hingga mundur pada tahun 1998.

Di satu sisi, ia mendapat julukan “Bapak Pembangunan” berkat keberhasilannya membawa stabilitas ekonomi dan meluncurkan berbagai program pembangunan nasional seperti Repelita yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan swasembada pangan.

Namun, di sisi lain, masa pemerintahannya juga sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta represi politik yang sangat keras terhadap lawan politik dan masyarakat sipil.

Tuduhan terhadap rezim Orde Baru yang dipimpinnya meliputi pembunuhan massal pasca-Gerakan 30 September 1965, penghilangan paksa, pembredelan media, dan kebebasan politik yang dibatasi secara represif.

Informasi Gembira bagi pecinta bola, Link Aplikasi Nonton Indonesia vs China dan Jepang vs Indonesia GRATIS, Segera download!

shotsgoal apk  

Polemik Pahlawan Nasional

Wacana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mencuat setelah beberapa tokoh politik dan masyarakat menyuarakan dukungan terhadap pengajuan gelar tersebut.

Argumen mereka berfokus pada jasa-jasa besar Soeharto dalam membangun Indonesia, menjaga stabilitas, serta menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang yang dihormati.

Namun, gelombang penolakan pun tidak kalah kencang. Banyak aktivis HAM, akademisi, dan sejarawan menilai bahwa Soeharto tidak pantas mendapat gelar tersebut sebelum ada pertanggungjawaban atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di bawah rezimnya.

Sebagai catatan, gelar Pahlawan Nasional di Indonesia bukan hanya soal kontribusi terhadap negara. Tapi juga integritas moral dan keteladanan. Ini menjadi titik perdebatan yang sulit terjembatani ketika menyangkut tokoh kontroversial seperti Soeharto.

Baca Juga: Dewan Pers Terima Laporan Intimidasi Terhadap Penulis Opini Detikcom

Generasi Muda dan Rekonsiliasi Sejarah

Generasi Muda dan Rekonsiliasi Sejarah

Menariknya, generasi muda saat ini terpecah dalam menilai sosok Soeharto. Sebagian mengenalnya dari media sosial sebagai “masa kejayaan harga-harga murah”. Bahkan muncul meme dan kampanye “Enak Zaman Pak Harto”.

Namun di sisi lain, ada generasi yang mulai membaca catatan sejarah kelam Orde Baru. Menyadari betapa kuatnya kendali kekuasaan saat itu terhadap opini publik, media, dan kehidupan pribadi rakyat.

Polemik ini menyiratkan betapa pentingnya pendidikan sejarah yang jujur, kritis, dan terbuka. Kita tidak bisa menutup mata terhadap pencapaian pembangunan yang pernah ada, tetapi kita juga tidak boleh melupakan luka sejarah yang ditinggalkan.

Sisi Gelap Orde Baru

Namun, di balik pencapaian tersebut, sejarah mencatat bahwa pemerintahan Soeharto tidak lepas dari praktik kekerasan, represi, dan pelanggaran HAM. Salah satu noda paling besar adalah tragedi pembantaian massal pasca G30S, di mana ratusan ribu hingga lebih dari satu juta orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI dibunuh atau ditahan tanpa proses hukum.

Selain itu, berbagai tragedi kelam lain turut terjadi di bawah kekuasaan Soeharto. Mulai dari penembakan misterius (petrus) pada 1980-an, penghilangan paksa aktivis menjelang reformasi, pembatasan kebebasan pers, hingga diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Banyak yang menyebut Soeharto menjalankan sistem kekuasaan yang represif dan tertutup, dengan mengandalkan militer sebagai alat kontrol.

Puncak dari akumulasi kekecewaan rakyat terjadi pada krisis moneter 1997–1998. Harga melambung tinggi, pengangguran meroket, dan korupsi semakin nyata di mata publik. Gerakan mahasiswa pun bangkit dan menuntut reformasi total. Aksi besar-besaran pada Mei 1998 berujung pada lengsernya Soeharto dari kursi presiden, setelah 32 tahun berkuasa.

Korupsi dan Dinasti Politik

Isu besar lainnya yang membayangi Soeharto adalah dugaan korupsi yang sangat masif. Transparency International pernah menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan menyelewengkan dana negara hingga USD 15–35 miliar.

Meskipun Soeharto tidak pernah dihukum secara hukum hingga wafat pada 2008. Catatan tentang kronisme dan nepotisme sangat kental selama masa pemerintahannya.

Anak-anak Soeharto disebut menguasai berbagai sektor ekonomi penting, mulai dari telekomunikasi, infrastruktur, hingga media. Dinasti bisnis dan politik keluarga Cendana menjadi simbol dari praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang menjadi musuh utama gerakan reformasi 1998.

Simak dan ikuti terus KEPPOO INDONESIA agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.


Sumber Informasi Gambar:

  • Gambar Utama dari nasional.kompas.com
  • Gambar Kedua dari www.westjavatoday.com

Similar Posts