Prabowo Di Kritik Keras Mengenai PPN 12%, Berikut Faktanya!
Prabowo Subianto yang baru dilantik sebagai Presiden di kritik mengenai Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini, yang diusulkan oleh pemerintahan sebelumnya di bawah Joko Widodo, kini menjadi beban bagi Prabowo yang baru menjabat. Berikut kami akan membahas Isu Panas terkini tentang Presiden Terpilih Prabowo yang di kritik keras mengenai PPN 12% di KEPPOO INDONESIA.
PPN 12% Di Mulai Di Era Jokowi
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 merupakan kebijakan yang diusulkan dan disahkan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang disahkan oleh DPR pada bulan Oktober 2021.
Jokowi menjelaskan bahwa keputusan untuk menaikkan PPN telah melalui pertimbangan yang matang dan merupakan amanat undang-undang yang harus dijalankan oleh pemerintah. Dalam pernyataannya, Jokowi menekankan bahwa “pemerintah sudah berhitung dan melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang” mengenai dampak dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat.
Buah Simalakama dari Jokowi untuk Prabowo
Kebijakan ini kini menjadi tantangan bagi Presiden Prabowo Subianto yang baru dilantik. Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiyansyah menyebutkan bahwa kenaikan PPN ini merupakan “buah simalakama” bagi Prabowo.
Kini presiden terpilih harus menghadapi konsekuensi dari keputusan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya. Trubus menambahkan bahwa meskipun Prabowo memiliki opsi untuk mengusulkan penurunan tarif PPN.
Namun beban yang ditinggalkan oleh pemerintahan Jokowi membuat situasi ini semakin rumit. Prabowo kini berada dalam posisi sulit, di mana ia harus mempertahankan stabilitas ekonomi sambil menghadapi kritik dari masyarakat terkait dampak kenaikan pajak ini.
Dengan utang negara yang tinggi dan kebutuhan belanja pemerintah yang besar, kenaikan PPN dianggap sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun kebijakan ini juga berpotensi memberatkan masyarakat.
Di Kritik Dari Massa, BEM hingga PDIP
Sejak pengumuman kenaikan PPN, berbagai pihak mulai dari masyarakat umum hingga organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menunjukkan penolakan mereka. Deddy Yevri Sitorus, Ketua DPP PDIP, menegaskan bahwa partainya bukanlah inisiator dari kebijakan ini.
Ia menyatakan, “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi)”.
Masyarakat juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan semakin membebani daya beli mereka di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Seorang inisiator petisi penolakan PPN 12% menyatakan, “Rencana menaikkan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat”.
Baca Juga: Beredar Dugaan Kantor Media Bogor Dibakar OTK, Benar kah?
MUI Minta Tunda Pengesahan PPN 12%
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memberikan perhatian serius terhadap rencana kenaikan PPN ini. Mereka meminta agar pengesahan kebijakan tersebut ditunda sampai kondisi ekonomi masyarakat membaik.
Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI, mengingatkan bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan pajak di tengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat.
Kritik yang datang dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan bahwa Prabowo harus segera merespons dengan langkah-langkah konkret untuk menangani masalah ini. Jika tidak, ia berisiko kehilangan dukungan publik di awal masa kepemimpinannya.
Bagaimana Dengan Respon Prabowo?
Prabowo Subianto sendiri menanggapi kritik tersebut dengan santai. Dalam pernyataannya di Indonesia Arena Jakarta, ia mengatakan, “Biasalah, biasa,” dan menambahkan bahwa kritik adalah hal wajar dalam pemerintahan.
Ia juga menyebutkan bahwa pemerintahannya baru berjalan selama dua bulan dan ada banyak pihak yang berusaha “menggoreng” isu negatif terkait pemerintahannya. “Rakyat mengerti siapa yang benar siapa yang ngarang,” tuturnya
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat kelas menengah ke bawah dan memperkuat struktur fiskal negara. Namun, penjelasan ini tampaknya tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran publik.
Fakta Unik PPN 12%
Pemerintah tetap teguh untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Pemerintah berdalih kenaikan ini menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan PPN itu memantik reaksi keras dari sejumlah kalangan. Meski sudah menjadi amanat undang-undang, mereka memandang bahwa kenaikan ini berpotensi mencekik masyarakat yang dimana kondisinya sekarang daya beli rakyat menurun drastis.
Sejumlah warga telah menginisiasi petisi online untuk menolak kenaikan PPN ini. Petisi tersebut mendapatkan ribuan tanda tangan dalam waktu singkat, menunjukkan besarnya ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan pemerintah saat ini. Berikut fakta PPN naik ke 12 persen mulai 2025:
Ada Barang Yang Di Kecualikan
Pemerintah menegaskan tak semua barang dan jasa kena kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Beberapa di antaranya malah digratiskan PPN-nya oleh pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merinci bahwa bahan kebutuhan pokok yang mendapatkan fasilitas bebas PPN telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020.
Barang dan jasa yang termasuk di antaranya adalah beras, daging (ayam ras, sapi), ikan (bandeng, cakalang, tongkol, tuna, kembung/banyar/gembolo/aso-aso), telur ayam ras, sayur-sayuran, buah-buahan, susu, garam, gula konsumsi, minyak goreng (tertentu), cabai (hijau, merah, rawit), dan bawang merah.
Kemudian ada jenis jasa yang mendapatkan fasilitas bebas PPN sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2024 yaitu jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa angkutan umum, jasa keuangan, dan jasa persewaan rumah susun sederhana.
Tetapi, pemerintah juga menetapkan bahwa barang-barang tertentu masih dikenai PPN sebesar 11 persen, dengan 1 persen sisanya ditanggung pemerintah. Barang tersebut mencakup Minyakita, tepung terigu, dan gula industri
Kompensasi Dari Pemerintah
Untuk meredam dampak kenaikan PPN 12% ini, pemerintah menyiapkan enam paket kebijakan ekonomi berupa insentif hingga diskon pajak sebagai stimulus.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kebijakan stimulus ini didesain untuk merespons guncangan ekonomi yang dialami dalam negeri. Salah satunya terkait pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah hingga bawah.
Adapun paket stimulus ekonomi tersebut diberikan kepada enam sektor produktif. Ini mencakup sektor rumah tangga yang mendapatkan bantuan pangan hingga diskon listrik 50 persen.
Selanjutnya, di sektor pekerja mereka akan mendapatkan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lalu, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) diberikan perpanjangan periode pemanfaatan pajak penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet hingga 2025.
Berikutnya, industri padat karya, di mana pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP. Kemudian, pada sektor mobil listrik dan hybrid diberikan insentif, hingga sektor perumahan diberikan PPN DTP pembelian rumah
Bagaimana Dampak Terhadap Masyarakat?
Kenaikan PPN ini diperkirakan akan berdampak signifikan pada semua lapisan masyarakat. Menurut laporan dari Center of Economic and Law Studies (Celios), rumah tangga miskin diperkirakan akan mengalami peningkatan pengeluaran bulanan hingga Rp101.880 akibat kenaikan PPN.
Dampak ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Kenaikan biaya hidup juga diprediksi akan memperburuk daya beli masyarakat yang sudah tertekan oleh inflasi.
Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen diperkirakan akan sangat signifikan terhadap daya beli masyarakat. Langkah ini akan sangat berpengaruh bagi kelas menengah ke bawah yang sudah mengalami penurunan pendapatan sejak beberapa tahun terakhir.
Dengan kondisi Upah minimum regional yang stagnan dan tabungan masyarakat yang semakin terkikis. Kini banyak keluarga kelas menengah dipaksa untuk bergantung pada pinjaman online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan di Kritik mengenai Kenaikan PPN 12%, ini menjadi isu krusial yang harus dihadapi oleh Prabowo sebagai presiden baru. Dengan banyaknya protes dari berbagai pihak, bagaimana ia akan merespons tantangan ini menjadi perhatian utama ke depan. Simak terus berita terpanas terupdate hanya di KEPPOO INDONESIA.